Kamis itu, Pak Sukari ke SD Islam Hidayatullah 02. Bersama dua orang lainnya. Saya belum kenal keduanya. Pak Sukari memperkenalkannya dan menyampaikan maksud kedatangannya.
“Mainannya mau ditaruh mana, Pak Kambali?”
“Sebelah sana.”
Kedua orang yang membersamai Pak Sukari itu mulai memasang mainan.
Bersamaan dengan itu, di empat ruang kelas sedang berlangsung pembelajaran mengaji. Pesertanya perempuan. Semuanya. Satu pun tidak ada laki-laki. Sebagian besar peserta adalah wali murid yang bersekolah di PAUD dan SD Islam Hidayatullah. Empat gurunya juga didominasi perempuan: tiga perempuan dan satu laki-laki. Pembelajaran mengaji ini diselenggarakan oleh QLC (Quranic Learning Center). Lembaga pembelajaran membaca Al-Qur’an untuk usia dewasa ke atas. Milik Yayasan Abul Yatama.
Pemasangan mainan selesai. Dua petugas yang memasang pun pamit pulang. Saya mengantarnya hingga depan pintu gerbang. Tidak berselang lama, saya lihat dua anak sedang menggunakan mainan yang baru saja terpasang. Saya mendekati keduanya.
Keduanya murid kelas 3 SD Islam Hidayatullah. Sudah selesai sekolah. Hari itu hari pertama pelaksanaan Penilaian Akhir Tahun (PAT). Mereka hendak pulang, tetapi harus menunggu terlebih dahulu. Ibunya masih mengaji. Megisi waktu, mereka pun mencoba mainan baru itu.
Salah satu dari keduanya mencoba mainan perosotan. Namanya, Aqsa. Saat kelas 2, Aqsa diajar oleh Bu Wiwik—sekarang ditugaskan di SD Islam Hidayatullah 02. Begitu selesai Aqsa mencoba perosotan, saya langsung bertanya kepadanya.
“Terlalu sempit apa ga, Mas Aqsa?”
“Ga, Pak. Ini cukup.”
“Alhamdulillah.”
“Tapi ini harus ditambahi kayak semacam matras, Pak.”
“Kenapa?”
“Untuk pengaman, Pak, sehingga dari atas saat nyampai di bawah tidak sakit.”
“O, ya. Terima kasih, Mas Aqsa.”
Dengan mengalami sendiri, Aqsa mampu mengidentifikasi masalah. Bahkan, Aqsa menemukan solusi atas masalah itu. Mungkin, bagi sebagian orang, apa yang dikemukakan Aqsa adalah hal sepele. Tapi harus saya akui, tidak semua anak dapat dengan mudah mengidentifikasi masalah. Meskipun sama-sama mengalami. Apa lagi ditambah menemukan solusinya. Dan dalam kenyataan di atas, Aqsa mampu. Tidak hanya itu, Aqsa juga mempunyai keberanian menyampaikan pendapat atas temuannya. Di depan orang yang lebih tua usianya.
Untuk mencapai kemampuan dan keberanian itu, saya yakin, Aqsa pasti butuh proses panjang yang melibatkan orang lain. Setidaknya dua pihak ini saya yakini berkontribusi besar atas Aqsa: guru dan orang tuanya. Itulah dua pihak yang paling berpengaruh dalam pendidikan karakter anak. Guru mendidik di lingkungan sekolah. Orang tua mendidik saat di rumah. Kolaborasi kedua pihak ini sangat menentukan capaian anak. Apabila karakter anak hanya diperhatikan saat di sekolah saja, sedangkan di rumah anak berperilaku sebaliknya, pasti anak akan mengalami kesulitan dalam menumbuhkan karakter yang diinginkan. Demikian pula sebaliknya.
Oleh karena itu, sangat penting untuk menyamakan persepsi antara guru dan orang tua. Guru dan orang tua harus satu frekuensi dalam mendidik anak.
Percakapan dengan Aqsa mengingatkan saya pada Al-Ṣāffāt: 102—111. Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah, menyembelih putranya, Ismail. Sebagai nabi, tidak ada pilihan lain bagi Nabi Ibrahim kecuali menjalankan perintah tersebut. Namun demikian, sebelum menjalankannya, Nabi Ibrahim terlebih dahulu memberi tawaran kepada Ismail. Salah satu riwayat menyebutkan, kala itu Ismail berumur 7 tahun. Walau Ismail masih usia anak-anak, Nabi Ibrahim tetap melibatkannya, bermusyawarah dalam menjalankan perintah Allah. Pelajaran yang sudah sepatutnya ditiru. (A1)