Kamis, 19 Maret 2019. Hari masih pagi. Anak-anak baru saja mengakhiri rutinitas awal kelas: tahfiz Al-Qur’an.
Selama kurang lebih satu jam saya duduk di salah satu sudut ruang kelas mereka. Menunaikan titah atasan, saya mengamati segala aktivitas kelas. Supervisi, sebutan resminya. Seperti biasanya, saya biarkan lembar pengamatan tersimpan di diska—tidak saya cetak. Saya buka dan isi formulir itu di laptop. Lembar pengamatan—yang umumnya disebut lembar penilaian—itu berupa tabel. Kalau dicetak, ukuran lebar kolom dan tinggi barisnya statis. Saya butuh lebar kolom dan tinggi baris yang fleksibel. Pada fail komputer, lebar kolom bisa diatur menurut kebutuhan. Tinggi barisnya otomatis bertambah ketika isinya melampaui ruang yang tersedia mula-mula.
Adalah isian pada kolom catatan yang paling menuntut fleksibilitas itu. Saya tergolong pengamat yang suka cerewet. Saya tulis apa pun yang saya dapati—yang cocok maupun yang tidak cocok dengan selera saya. Setelah terisi lengkap, lembar pengamatan—masih berupa soft copy—saya serahkan kepada pimpinan sekolah. Kalau diminta, lembar pengamatan juga saya serahkan kepada guru yang bersangkutan. Bedanya, lembar pengamatan yang saya kirim kepada guru itu tanpa angka-angka skor dan nilai. O, iya, berkas lembar pengamatan itu saya kirimkan dalam format PDF. Tahu maksud saya, kan?
Gambar di atas adalah cuplikan catatan pengamatan saya pada Kamis, 19 Maret 2019 itu. Objeknya, salah satu kelas di sebuah sekolah. Catatan nomor 5 dan 6 mencela performa guru. Nomor 7 mengapresiasi perilaku anak-anak—murid-murid kelas 2. Saya tidak peduli apakah guru berkontribusi terhadap pembentukan karakter murid-muridnya itu. Biarlah menjadi tugas pimpinan untuk mengorek keterangan tentang hal itu.
***
Sekitar dua setengah tahun kemudian, guru yang menjadi sasaran bidikan mata garang saya itu pindah tugas ke sekolah lain—sekolah baru. Di sana*), pimpinannya menyelisik catatan masa lalu itu. Cerita tentang itu bisa dibaca di sini. Memang, pimpinan di sekolah barunya adalah juga salah seorang unsur pimpinan di sekolah sebelumnya.
Rupanya, pimpinannya itu cukup concerned dalam hal pembangunan karakter murid. Ah, tumbu olèh tutup. Guru aware bertemu pimpinan peduli. Entah kebetulan atau kesengajaan, keduanya pindah—dengan awalan ber-atau di- bukan hal penting—dari dan ke sekolah yang sama. Barangkali memang begitulah skenario-Nya.
Sekadar maklumat, di sana*) itu sesungguhnya di sini. Ya, di sekolah yang empunya situs ini. Tidak mengherankan jika, dalam perjalanannya melewati satu semester perdana, sekolah ini tampak mengarusutamakan pendidikan karakter. Character first, demikian mungkin iktikadnya.
Teguh Gw
adalah penikmat masalah-masalah pendidikan.