Penerimaan peserta didik baru SD Islam Hidayatullah telah dilaksanakan sejak November 2021. Hari Sabtu merupakan hari pelaksanaan observasi dan wawancara. Calon siswa akan diobservasi sedangkan orang tuanya akan mengikuti wawancara. Sabtu ini terjadwal 4 calon siswa beserta orang tua mereka yang akan mengikuti rangkaian kegiatan observasi dan wawancara.
Pukul 07.50, Bu Wiwik selaku koordinator seksi observasi mendapat panggilan WhatsApp dari koordinator pendaftaran, Pak Rizal.
“Bu, ada calon siswa yang sudah datang,” ucap Pak Rizal.
“Baik, Pak. Mohon disampaikan untuk menunggu 10 menit lagi, ya,” jawab Bu Wiwik
“Ya, Bu.”
Bu Wiwik segera mengirim pesan ke grup seksi observasi untuk menginformasikan bahwa sudah ada yang hadir. Kebetulan kegiatan hari ini cukup padat. Semua guru dan karyawan mengikuti khataman Al-Qur’an di musala, yang beririsan dengan kegiatan observasi, dilanjutkan olahraga bersama.
Beberapa menit kemudian, Pak Fir dan Pak Cahya telah siap di ruang tugas masing-masing. Bu Wiwik segera menghampiri calon siswa tersebut dan orang tuanya di lobi. Setibanya Bu Wiwik di lobi, mereka masih berbincang dengan Pak Rizal. Melihat kehadiran Bu Wiwik, Pak Rizal mempersilakan kedua tamunya melanjutkan percakapan dengan Bu Wiwik dan menyerahkan lembar kontrol kegiatan hari ini.
“Assalamu`alaikum, Kak Langit dan Bunda,” sapa Bu Wiwik.
“Wa`alaikum salam, Bu,” jawab Bunda sambil menoleh ke arah Langit. “Jawabnya apa, Nak? Wa’alaikum…?”
“Wa`alaikum salam, Bu Guru,” jawab Langit dengan percaya diri.
“Siapa, ya, yang mau jadi kakak SD?”
“Aku!” seru Langit.
“Oh, Kak Langit, ya? Oke, jadi hari ini Kak Langit akan bermain dengan Pak Cahya. Nanti Bunda mau ngobrol dulu dengan ibu guru yang lain, boleh?” pinta Bu Wiwik.
“Berapa lama?” tanya Langit penasaran.
“Kurang lebih 30 menit,” jawab Bu Wiwik.
“30 menit? Lama sekali. Kalau 1 menit saja bagaimana?”
Bu Wiwik sedikit kaget mendengar respons Langit. Dengan percaya diri tamu cilik ini menyampaikan bahwa 30 menit itu lama dan bahkan menawar menjadi 1 menit. Sang Bunda tersenyum sembari menatap Bu Wiwik dengan ekspresi yang jika diucapkan mungkin seperti ini: “Anak ini ada-ada saja.”
“Kalau cuma 1 menit, baru berkenalan waktunya sudah habis, dong,” Bu Wiwik menimpali.
“Memangnya mau ngobrol apa?” tanya Langit.
“Bunda dan Bu Guru mau ngobrol tentang Langit dan sekolahnya besok kalau sudah SD. Bagaimana, boleh?” bujuk Bu Wiwik.
“30 menit itu berapa detik aku lupa. Tapi itu lama,” Langit berpikir keras.
“Oke, kalau begitu, 20 menit?” bujuk Bu Wiwik
“Mmmm…,” jawab Langit ragu.
Sang Bunda masih harap-harap cemas mendengar percakapan ini. Namun, beliau tetap memberikan kesempatan negosiasi ini berlanjut. Bu Wiwik berusaha tetap tenang dan melanjutkan pembicaraan.
“Aha! Bu Wiwik punya ide. Bagaimana kalau nanti setelah Kak Langit selesai bermain dengan Pak Cahya, kita menyusul Bunda?” usul Bu Wiwik bersemangat.
“Kalau Langit selesai cepat berarti bisa menyusul Bunda lebih cepat?” Langit menyimpulkan.
“Iya. Bagaimana, deal?”
“Baik kalau begitu. Langit mau.”
Terlihat sang Bunda dan Bu Wiwik tersenyum lega mendengar jawaban Langit. Bu Wiwik kemudian mengantar Langit ke kelas 2A untuk bertemu Pak Cahya. Berpisah dari sang Bunda sama sekali tak membuatnya khawatir. Itu pula yang diperkirakan Bu Wiwik dan Pak Rizal saat pertama bertemu dengannya. Langit anak yang pemberani dan percaya diri.
Logika berpikir Langit patut diapresiasi. Konsep menit dan detik telah ia pahami. “Kenakalannya” menawar durasi observasi pun semakin menguatkan kekaguman Bu Wiwik terhadap Langit. “Kenakalan” langit itu justru mencerminkan kecerdasan tingkat langit. Bocah sekecil itu sudah mahir bernegosiasi. Terlalu sayang jika bakat istimewanya tidak dilayani.
Usai kegiatan, Bu Wiwik kembali bertemu dengan Langit dan bundanya. Rasanya tak salah jika kemudian Bu Wiwik menyapa Langit dengan salam perpisahan, “Assalamu`alaikum, Kak Langit, negosiator cilik.” Sapaan itu disambut dengan senyum hangat sang Bunda dan jawaban “Wa`alaikum salam, Bu Guru.”