Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah #2

Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan

Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter.

Sebagai gerakan pembudayaan, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan segenap pemangku kepentingan. Rancang bangun pendidikan karakter yang mati-matian ditata oleh guru kelas akan berantakan bila tidak dibarengi pranata serupa di lapangan olahraga, perpustakaan, kantin, dan tempat-tempat lainnya di sekolah. Sebab itu, pimpinan mesti melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam gerakan karakter.

Keterlibatan unsur-unsur komunitas sekolah akan mencapai totalitas hanya jika masing-masing merasa diberi peran sebagai subjek (diuwongake), bukan sekadar objek penyelenggaraan program. Jadi, pelibatan itu harus dimaknai sebagai distribusi peran kepemimpinan, pembagian tanggung jawab dan wewenang. Kepercayaan dan apresiasi menjadi sepasang kunci pembuka keran partisipasi proaktif mereka.

Tidak hanya GTK, murid pun perlu diberi kesempatan untuk mengambil peran kepemimpinan dalam gerakan karakter. Rotasi kepemimpinan di kalangan murid dapat dilakukan sesering mungkin. Peran kepemimpinan murid bisa dimulai dari skala kecil. Memimpin kerja kelompok dan rutinitas kelas dapat dipergilirkan kepada semua murid. Dari pengalaman mereka dalam peran kepemimpinan skala kecil itu dapat diidentifikasi kapasitas per individu. Murid yang menunjukkan kapasitas menonjol kelak diberi kesempatan untuk menjalankan peran kepemimpinan dengan skala lebih besar.

Dalam konteks gerakan pendidikan karakter, harus dihindari pemaknaan suksesi kepemimpinan sebagai kontestasi politik dan perebutan kekuasaan. Tiap-tiap individu perlu sesekali maju ing ngarsa untuk belajar memikul tanggung jawab sung tuladha, kali lain membaur ing madya untuk belajar gotong royong mangun karsa, dan kali lain lagi mundur untuk belajar legawa tut wuri seraya handayani tim agar tetap berdiri tegak dan melangkah tegap.

Pelibatan secara total itu membuat semua anggota komunitas sekolah merasa handarbeni. Kontribusi mereka terhadap gerakan karakter bukan sekadar berorientasi unjuk kepatuhan, melainkan lebih dirasakan sebagai panggung aktualisasi diri. Motivasi intrinsik ini menjadi sumbu dukungan yang loyal dan awet. Guru-guru tidak merasa sungkan untuk menawarkan ide-ide kreatif demi menyegarkan pendekatan pendidikan karakter atau saling berbagi praktik baik di kelas mereka. Dengan demikian, terbangun kolaborasi sinergis: yang kuat berdaya guna untuk memberdayakan yang lemah.

Distribusi peran kepemimpinan juga bermakna kaderisasi. Jalan menuju alih generasi pimpinan sekolah menjadi lapang dan mulus. Suksesi antargenerasi yang sevisi dan sudah biasa bersinergi itu menyumbangkan separuh jaminan keberlanjutan gerakan pendidikan karakter.

Bagi anggota komunitas, rotasi peran kepemimpinan memberikan pelajaran berharga. Pengalaman melakoni peran bervariasi itu akan meluaskan sudut pandangnya terhadap jabatan dan status seseorang dalam sebuah organisasi—formal maupun informal. Dengan persepsi bahwa peran dan kontribusi lebih bernilai daripada jabatan dan status, mereka tidak silau ketika melihat ke atas dan tidak rabun ketika memandang ke bawah. Jabatan apa pun yang dipangku orang lain dipandang dengan kacamata kewajaran dan status apa pun yang disandangnya sendiri diterima dengan lapang dada.

Iklim kepemimpinan yang kondusif menjadi modal penting untuk mempererat keterlibatan proaktif dan menggalang dukungan autentik. Iklim kepemimpinan juga berdampak terhadap keberlanjutan ikhtiar pembudayaan karakter di sekolah. Last but not least, iklim kepemimpinan yang dibangun di atas fondasi kepercayaan dan dinaungi atap apresiasi adalah pilar pendidikan karakter itu sendiri.


Asesmen Berkala dan Perbaikan Kontinu

Sebaik apa pun desainnya, tidak pernah ada program yang bebas dari ancaman cacat dan usang. Demikian pula yang berlaku bagi program pendidikan karakter di sekolah. Ia memerlukan penyesuaian dan pembaharuan sepanjang masa. Sekali dianggap sempurna dan disakralkan, program pendidikan karakter akan kehilangan kompatibilitasnya terhadap dinamika ruang dan waktu.

Nilai-nilai kesalehan berlaku universal (melintasi sekat-sekat ruang) dan abadi (melintasi batas-batas zaman). Namun, pendekatan yang dipakai dalam penanaman dan penumbuhan nilai-nilai tersebut memerlukan adaptasi dan modifikasi dari waktu ke waktu dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Dulu kala, untuk menjaga kelestarian sumber air, orang tua cukup mengatakan kepada anak-anaknya bahwa di pohon besar di dekat mata air di kampung mereka ada penunggunya. Lalu diutuslah seorang juru kunci untuk menaruh benda-benda “sesaji” di bawah pohon tersebut pada momen-momen tertentu. Jadilah anak-anak takut mengganggu “si penunggu” pohon. Alhasil, pohon “keramat” itu selamat dari perusakan dan desa mereka terhindar dari bencana kekeringan.

Anak-anak generasi milenial dan berikutnya, mana bisa percaya kepada mitos takhayul seabsurd itu? Mereka menuntut penjelasan logis: mengapa pohon-pohon di sekitar mata air itu harus dilestarikan. Mereka perlu dibimbing untuk menalar: apa hubungan antara keberadaan pepohonan dan masa depan kehidupan masyarakat, apa akibat yang akan diderita anak cucu mereka kelak jika pepohonan musnah dari desa mereka, apa yang harus mereka lakukan terhadap pohon-pohon itu untuk menyelamatkan masa depan mereka.

Asesmen berkala menjadi keniscayaan demi keberlanjutan ikhtiar pendidikan karakter. Data diperlukan untuk mengukur keberhasilan program, efektivitas pendekatan, dan kompatibilitas teknik. Beragam instrumen pengumpulan data memiliki peran penting: catatan anekdot hasil pengamatan guru, survei pengalaman murid, survei kepuasan orang tua murid, dan—kalau perlu—survei pandangan masyarakat sekitar.

Data yang terkumpul menjadi pijakan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Kegagalan dan keberhasilan dipetakan. Ada peluang, pembudayaan nilai tertentu gagal di salah satu kelas tetapi sukses di kelas yang lain. Boleh jadi, pembangunan karakter tertentu gagal di tangan salah seorang guru tetapi gemilang di tangan guru yang lain. Ada kemungkinan, implementasi sebuah pendekatan berantakan di seluruh sekolah. Bisa jadi, penerapan teknik tertentu berjalan mulus di semua kelas.

Kegagalan dan keberhasilan sama-sama layak untuk dipetik sebagai pelajaran. Keberhasilan yang dicapai oleh sebuah kelas atau seorang guru diakui sebagai praktik baik dan ditularkan ke kelas atau guru lain. Kegagalan yang merata di seantero sekolah diakui sebagai area kritis dan membutuhkan curah gagasan dari segenap pemangku kepentingan.

Dalam evaluasi keberhasilan dan kegagalan, iklim kepemimpinan kembali memegang peran kunci. Keberhasilan di salah satu kelas—yang tidak terjadi di kelas lain—bisa jadi merupakan buah dari keberanian “berijtihad”, mencoba pendekatan atau teknik yang berbeda dari desain sekolah. Keberanian berbeda semacam itu tumbuh hanya dalam iklim kepemimpinan yang demokratis. Pengakuan atas keberhasilan ijtihad nyeleneh semacam itu akan menyulut keberanian teman-teman sejawat untuk mengambil inisiatif. Sewaktu-waktu mendeteksi gejala kegagalan metode yang diresepkan sekolah, mereka berani banting setir.

Curah gagasan dalam rangka revisi program juga akan subur dengan ide-ide segar dan kreatif hanya dalam iklim kepemimpinan yang akomodatif. Fondasi kepemimpinan yang demokratis dan akomodatif adalah kultur egaliter dalam organisasi. Egalitarianisme itu akan menjelma menjadi pola kepemimpinan kolektif-kolegial. (TAMAT)

______________________________

Artikel Seri Pendidikan Karakter sebelumnya:
Bagian ke-4a: Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah #1
Bagian ke-3: Modus Pendidikan Karakter
Bagian ke-2: Definisi Karakter
Bagian ke-1: Mengapa Karakter?

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

10 thoughts on “Seri Pendidikan Karakter (4b)”

Comments are closed.

Scan the code