Lintang (duduk paling kanan) sedang bermain peran dengan Sabrina dan Adia, serta Valda (berdiri).

Hari terakhir PAS (Penilaian Akhir Semester). Terjadwal Matematika dan mencongak (berhitung). Ada tiga penguji tes mencongak: Pak Kambali, Ustaz Adhit, dan saya. Salah satu penguji tes mencongak, Pak Kambali, ada kegiatan lain pada jam mencongak, sehingga pelaksanaannya ditukar. Mencongak dulu, baru matematika.

Setiap penguji mengetes sembilan siswa. Soal terdiri atas lima level. Penyusunnya Pak Kambali. Beliau seorang sarjana sains jurusan matematika. Setiap siswa menjawab soal secara lisan sesuai kemampuan mereka. Jika siswa berhenti di level tertentu, maka tes dicukupkan. Urutan soal di setiap level berbanding lurus dengan tingkat kesulitannya.

Saya telah menyelesaikan jatah pegetesan pada sembilan siswa. Ustaz Adhit dan Pak Kambali belum selesai. Saya mengondisikan siswa yang telah selesai tes dan yang tengah menunggu giliran.

“Teman-Teman, ngobrol boleh, tetapi level….?”

“Satu,” para siswa menjawab serempak.

“Iya, supaya teman yang sedang tes bisa fokus kalau suasananya tenang. Yang sudah selesai menggambar boleh membaca buku di kursi masing-masing.”

Beberapa siswa memilih buku di reading corner, lalu kembali ke kursi.

Tiba giliran Lintang tes. Ustaz Adhit membacakan soal penjumlahan level satu nomor satu. Ustaz Adhit mendekatkan telinganya ke wajah Lintang. Beliau merasa tidak mendengar jawaban apa pun dari Lintang. Tidak mungkin Lintang tidak bisa menjawab. Soalnya adalah 1 + 1 = ….

“Bu Wiwik, Lintang sama Bu Wiwik, nggih?” Ustaz Adhit meminta persetujuan saya.

Nggih, Taz,” jawab saya.

Lintang beranjak mendekat ke meja saya.

“Mbak Lintang, 1 + 1 berapa?”

Saya mendekatkan telinga saya ke wajah Lintang. Tidak ada suara.

“Maskernya dibuka dulu, ya, Nak.”

Lintang melepas maskernya.

“1 + 1 berapa?

Lintang mengatupkan bibirnya. Bagaimana ini?

“Kalau 1 + 2 berapa?”

Tetap saja Lintang terdiam.

“Oke, sekarang Mbak Lintang menulis jawabannya di sini, ya.”

Saya menyodorkan naskah soal dan menyerahkan pulpen ke Lintang. Beberapa soal ia jawab dengan benar. Ada yang dijawab melebihi batas waktu yang ditetapkan. Saya biarkan. Saya hanya menandai Lintang tuntas sampai soal keberapa.

“Oke, alhamdulillah, Mbak Lintang sudah selesai. Silakan kembali ke kursi, ya.”

Lintang (duduk paling kanan) sedang bermain peran dengan Sabrina dan Adia, serta Valda (berdiri).

***

Di kesempatan lain, saya berinteraksi lagi dengan Lintang. Kala itu, saya hendak memasukkan jurnal PPK ke dalam map plastik. Di dalam map tersebut telah ada beberapa hasil karya siswa. Saya berencana membagikannya saat pengambilan rapor akhir semester.

Atas inisiatifnya sendiri, Lintang membantu saya. Meski Lintang tidak berkata apa pun, saya paham Lintang bermaksud membantu. Ia menunjukkannnya dengan gerak-gerik dan tatapan matanya.

“Sini, Mbak Lintang, bantu Bu Wiwik.”

Lintang mengamati apa yang saya lakukan. Tanpa saya arahkan, Lintang membuka map plastik tersebut, lalu menata kertas-kertas yang ada di dalamnya. Ia menggeser posisi kertas tersebut hingga berada di sisi kiri. Saya memasukkan jurnal PPK di sisi kanan map.

“Anak ini peduli dan perhatian sekali,” batin saya.

“Mbak Lintang suka beres-beres juga di rumah, ya?”

Yang ditanya mengangguk.

“Mbak Lintang ngobrol dong sama Bu Wiwik. Bu Wiwik ingin dengar suaranya Mbak Lintang.”

Lintang memberi respons hanya dengan gestur tubuhnya.

“Mmmm, Mbak Lintang kepinginnya main dengan siapa?” tanya saya dan menyebutkan beberapa nama teman Lintang di kelas.

Lintang menggelengkan kepalanya.

“Lalu, Lintang maunya main dengan siapa? Insya Allah semester depan Bu Wiwik pindah tempat duduknya dengan teman yang Lintang sukai.”

Lintang tetap saja tak menjawab.

“Kalau gitu, Mbak Lintang tulis saja di papan tulis. Tuliskan dua nama teman yang Lintang ingin satu kelompok.”

Saya sempat khawatir, jangan-jangan Lintang tidak punya keinginan dekat dengan siapa pun di kelasnya. Alhamdulillah kekhawatiran saya terpatahkan. Perlahan, Lintang menuliskan dua nama di papan tulis. Saya apresiasi Lintang, kemudian saya janjikan semester dua nanti Lintang sekelompok dengan dua temannya yang ia tulis tadi.

Ya, Lintang merupakan anak yang sangat pendiam. Beberapa bulan membersamainya di kelas, saya belum menemukan cara agar Lintang membaur dengan teman-temannya. Sengaja, tempat duduknya saya dekatkan dengan anak yang banyak bicara, tetapi belum juga berhasil membuatnya membuka diri. Alhamdulillah, Lintang telah lancar membaca dan menulis. Sementara ini, jawaban tertulis dari Lintang merupakan jalan ninja saya untuk memahami keinginannya. Semoga, di semester mendatang, Lintang akan merasa lebih nyaman dekat dengan teman yang ia pilih, membuka diri, hingga akhirnya ia dapat dengan leluasa mengungkapkan apa yang ia kehendaki.

Bagikan:
8 thoughts on “Jalan Ninja”

Comments are closed.

Scan the code