Definisi Karakter
Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai “… you do the right thing even when no one seeing.” Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat.
Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril `alaihi as-salām: “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihat-Nya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48)
Dua definisi yang berbeda secara harfiah, tetapi senada secara maknawi. Perilaku baik baru bisa disebut sebagai karakter jika telah menjadi perilaku konstan. Terhadap stimulus yang sama—apa pun situasinya—responsnya konsisten. Orang yang berkarakter jujur, misalnya, tidak akan pernah mengambil atau menerima pemberian apa pun yang bukan haknya.
Selain konsistensi, pengejawantahan karakter juga ditandai dengan spontanitas. Respons seketika, seperti refleks, itulah cerminan karakter. Seseorang yang berkarakter peduli dan welas asih tidak perlu berpikir lama untuk menolong anak ayam yang tercebur ke dalam got. Ia tidak berpikir apakah ada orang lain yang melihat tindakannya. Ia tidak berpikir apakah perbuatannya terekam CCTV. Ia tidak berpikir untuk mengambil ponsel pintar demi mengabadikan dan memviralkan aksinya.
Karakter menjelma aksi nyata secara konstan—konsisten dan spontan. Konsistensi dan spontanitas itu pola yang terbentuk melalui proses panjang pencelupan. Nilai-nilai luhur sudah mengakar di hati dan pikirannya, mendarah daging dalam pola sikap dan perilakunya.
Karakter vs. Reputasi
“Character is like a tree and reputation is like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing,” petuah Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat (1861—1865). Karakter itu ibarat pohon, reputasi ibarat bayangannya. Bayangan itu sangkaan kita, sedangkan pohon adalah benda sejatinya.
“Character is what you are, reputation is what others think you to be,” kata Rev Sam Davis, pensiunan pastor Kristen Ortodoks di Amerika. Karakter adalah apa sejatinya kita, sedangkan reputasi adalah seperti apa kita dalam sangkaan orang lain.
Belakangan kita makin sering terkena prank sejumlah figur publik. Betapa banyak politisi yang terpilih duduk di kursi bergengsi—eksekutif maupun legislatif—tiba-tiba muncul dengan rompi oranye berlabel “tahanan KPK”. Tak berbilang sudah aparat penegak hukum—bahkan sampai petinggi puncak: Ketua MK—terjerat kasus rasuah. Belum lenyap dari pemberitaan, kehebohan oleh dua jenderal: yang satu dalam kasus pembunuhan sadis, satunya lagi kasus peredaran narkoba.
Seseorang berhasil meraih kedudukan tinggi pasti telah melalui penilaian oleh pihak lain. Seorang politisi mendapat kepercayaan untuk mewakili rakyat di kursi legislatif atau memimpin pemerintahan karena rakyat pemilihnya menilainya sebagai orang baik. Seseorang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pasti sudah melalui seleksi untuk meyakinkan bahwa ia—selain mumpuni di bidang hukum—berintegritas tinggi. Seorang polisi berhasil meniti karier hingga menjadi perwira tinggi pasti melalui penilaian berjenjang, yang menyimpulkan ia polisi berprestasi dan terpuji.
Jika akhirnya orang-orang tersebut “tersandung” masalah hukum, berarti yang sebelumnya mereka tampilkan di muka publik hanyalah reputasi. Para pendukung, pemilih, penyeleksi, pengangkat mereka hanya melihat “bayangan pohon yang jatuh di tanah”—meminjam perumpamaan Lincoln. Bayangan pohon memang tampak hitam mulus. Tidak terlihat kulitnya yang mengelupas, rantingnya yang patah, daunnya yang robek, sarang dan tahi burung yang menempel di dahan.
Seseorang yang hanya mengejar reputasi pada umumnya memang berhasil mengecoh penglihatan orang lain. Namun, mustahil seseorang bisa mengelabuhi kesadarannya sendiri. Serapi apa pun dalam menjaga perilakunya di mata orang lain, seseorang pasti menyadari motif yang tebersit di hati dan pikirannya.
Dalam bahasa awam, pengawas paling jeli dan jujur atas perilaku seseorang adalah nuraninya sendiri. Dalam bahasa agama—setidaknya Islam, yang saya sedikit tahu; saya menduga, agama-agama apa pun juga demikian—ada Tuhan, Yang Maha Awas, selain nurani.
Pendidikan karakter punya orientasi jelas: membentuk karakter, bukan sekadar membangun reputasi.
————————————————–
Artikel Seri Pendidikan Karakter selanjutnya:
Bagian ke-3: Modus Pendidikan Karakter.
Bagian ke-4a: Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah #1
Bagian ke-4b: Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah #2
Artikel Seri Pendidikan Karakter sebelumnya:
Bagian ke-1: Mengapa Karakter?