“Itaf sudah siap mengikuti tes wudu, Pak,” ujar Bu Wiwik kepada saya.

“Ya, Bu. Baiknya kapan, ya?”

Sebelum ini Bu Wiwik memang mengusulkan (untuk) diadakan tes wudu. Itu beliau sampaikan di ruang kelas 1. Saat sore hari. Anak-anak sudah pulang. Di ruang kelas sudah tidak ada anak-anak. 

Pada waktu itu, saya menanyakan efektivitas pembimbingan wudu kepada beliau. Saya punya kekhawatiran, kegiatan pembimbingan wudu hanya menjadi rutinitas saja. Tanpa makna. Sekadar menggugurkan tugas sebagaimana tercantum dalam jadwal. Kebetulan penambahan keran wudu juga sudah selesai. Momen yang tepat untuk membicarakan mengenai wudu. Dan saya arahkan untuk fokus pada wudu anak-anak.

Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya saya dan Bu Wiwik sepakat melakukan berbagai perbaikan. Di antaranya, pembimbingan wudu dilakukan oleh dua guru—sebelumnya, hanya satu guru, yakni Bu Wiwik saja. Dua guru tersebut membimbing delapan anak. Pembagiannya disesuaikan dengan tempat dan sekaligus tujuan pembimbingan. Guru yang pertama, yakni Ustaz Adhit, mendapatkan tujuh anak di tempat yang memang memuat tujuh keran. Adapun guru yang kedua, Bu Wiwik, kebagian satu anak di tempat yang memang hanya ada satu keran. 

Dengan hanya satu anak, Bu Wiwik ditugaskan untuk memastikan anak berwudu dengan benar dan sempurna—sebelumnya telah disepakati yang dimaksudkan level benar dan sempurna wudu anak kelas 1 adalah melakukan rukun wudu sesuai ketentuan. Bila anak tersebut telah dipastikan berwudu dengan benar dan sempurna, besoknya anak tersebut sudah tidak lagi dengan Bu Wiwik, tetapi bersama Ustaz Adhit. Adapun Bu Wiwik akan mendapat anak yang lain lagi. Jika anak ternyata didapati berwudu masih belum benar atau kurang sempurna, besoknya anak tersebut masih harus mengulang dengan bimbingan Bu Wiwik. Demikian seterusnya, hingga anak tersebut berwudu dengan benar dan sempurna. Tiap-tiap anak pada gilirannya akan berkesempatan dibimbing oleh Bu Wiwik.

Di posisi tersebut ternyata Bu Wiwik merasa membutuhkan pembanding. Lalu mengusulkan ada tes wudu dengan maksud sebagai pembanding. Sekaligus beliau usul, saya yang mengetes. Bu Wiwik memang sangat hati-hati dalam hal wudu. Saya menyetujui usulan beliau.

Menurut Bu Wiwik, Itaf sudah siap dites. Selasa (16/8) beliau mendampingi empat anak berwudu. Di antara empat anak tersebut, hanya satu yang beliau anggap sudah berwudu dengan benar dan sempurna. Tiga lainnya masih perlu bimbingan lagi. Ada yang sudah benar urutan wudunya, tetapi belum rata membasuhnya. Ada pula yang memang masih terbalik rukunnya.

Pembicaraan mengenai waktu tes Itaf berlanjut. 

“Pak Kambali bisanya hari apa?”

“Insyaallah Jumat bisa, Bu. Ngersakke saat jam bimbingan wudu atau di luar jam bimbingan wudu?”

“Mengikuti longgarnya Pak Kambali mawon.”

“Di hari itu, saya bisa semua.”

“Bagaimana kalau saat jam bimbingan saja, Pak?”

“Ya, ga papa.”

Waktu yang ditentukan tiba. Saya bersiap di keran yang telah ditentukan. Itaf menghampiri saya. Saya sudah bulatkan tekad: tidak boleh tergoda untuk membimbing, fokus mengetes. Bila saya temui kekeliruan, cukup saya sampaikan kepada Bu Wiwik agar mengawal proses perbaikan.

Saya bilang kepada Itaf, “Silakan mulai, Mas Itaf.”

Tanpa bersuara, Itaf segera membuka keran di depannya. Ia mulai berwudu. Tak hanya rukun wudu yang dilakukannya, sunah wudu pun ia kerjakan. Meski demikian, sebagaimana kesepekatan, saya hanya memastikan rukun wudu saja. Membasuh wajah, membasuh tangan, mengusap kepala, dan membasuh kaki telah dilakukan semua oleh Itaf dengan urutan yang benar. Tanpa saya memberi aba-aba. 

Saya mantap: Itaf lulus. Itaf sudah berwudu dengan benar dan sempurna. Bu Wiwik dapat menjadikannya sebagai standar dalam pembimbingan wudu anak-anak lainnya. Bahagia sekali rasanya hari ini. Pembimbingan selama ini akhirnya terbukti membuahkan hasil. Apa yang dilakukan para guru terbukti tidak sia-sia. Memang baru satu anak. Namun, keberhasilan satu anak ini—saya optimistik—akan segera menular kepada anak-anak lainnya. Semoga. (A1)

Bagikan:
10 thoughts on “Tes Wudu”

Comments are closed.

Scan the code