Suasana pagi ini berbeda dari biasanya. Hiruk pikuk kesibukannya begitu terasa. Dari balik pagar Sekolah, terlihat laju kendaraan tersendat akibat kemacetan. Suara peluit para petugas sekuriti bersahutan menambah riuhnya suasana. Mobil dan motor silih berganti memasuki area Sekolah.

Dari pintu kelas, para guru siap menyambut murid-muridnya. Satu per satu, murid yang dinanti pun tiba. Satu per satu pula, guru membimbing mereka menempatkan botol minum, bekal makanan, dan sepatu.

As-salāmu’alaikum, Mas Hafidz. Jawabnya?” sapa Ibu Guru.

Wa’alaikumus-salām,” jawab Hafidz.

“Sepatunya diletakkan di rak, ya. Hafidz nomor dua.”

Ibu Guru mengajak Hafidz menuju rak sepatu. Pura-pura tidak tahu di mana stiker nomor 2 tertempel.

“Tadi Hafidz nomor berapa?” tanya Ibu Guru.

“Dua,” jawab Hafidz sambil memasukkan sepatunya ke dalam kotak sepatu berstiker nomor dua.

“Botol minum dan bekalnya diletakkan di meja depan situ, ya, Nak!” Ibu Guru melanjutkan.

Gurunya beralih ke murid lain yang baru datang. Hafidz tampak kebingungan. Naufal yang sudah membereskan barang-barangnya, datang ke arah Hafidz. Ia mengambilkan botol minum Hafidz lalu menyerahkannya.

“Taruh di situ,” jelas Naufal sambil menunjuk ke arah meja.

Agak ragu, Hafidz meletakkan botol minumnya. Naufal mengambilkan bekal Hafidz dari dalam tasnya, lalu menyuruh hal yang sama. Hafidz menuruti perintah Naufal. Naufal lantas menggandeng tangan Hafidz menuju loker.

“Kamu nomor berapa?” tanya Naufal.

“Dua,” jawab Hafidz dengan yakin.

Naufal membantu Hafidz memasukkan tasnya ke dalam loker bertempel stiker angka 2. Ibu Guru melihat kejadian itu. Beliau membiarkannya. Satu hal terpikir oleh beliau.

***

Bel tanda masuk berbunyi.

“Anak-anak, sekarang ambil sepatunya, lalu berbaris di luar, ya,” seru Ibu Guru.

Anak-anak berhamburan menuju rak sepatu dan memakainya di luar kelas. Sultan tertinggal dari teman-temannya. Ia kesulitan memakai sepatunya. Naufal membantu Sultan memasukkan perekat sepatu ke lubangnya. Ibu Guru menyaksikan kejadian itu. Beliau semakin yakin dengan apa yang dipikirkannya tadi.

“Naufal bisa saya bidik menjadi agen kebaikan pertama,” Ibu Guru bersenandika.

***

Belum genap satu jam Ibu Guru membersamai murid-murid barunya, beliau telah belajar satu hal: semua anak itu baik. Naufal baik. Ia peduli dan penolong. Hafidz dan Sultan baik. Mereka percaya pada kebaikan temannya. Kebaikan-kebaikan itu membuat Ibu Guru belajar. Pengalaman ini mengingatkan Ibu Guru tentang pembicaraan Pak Kambali dengan guru baru di Sekolah: “Tugas guru itu ada empat: belajar, belajar, belajar dan mengajar.” (A2)

Bagikan:
11 thoughts on “Empat Tugas Guru”
  1. Peduli. Kalau boleh membuat kategorisasi, saya menempatkan peduli–bersama dengan jujur–sebagai pangkal kebajikan. Bedanya, kejujuran (honesty) menjadi pangkal kebajikan intrapersonal–tidak membutuhkan rangsang dari luar diri. Sementara, kepedulian (care) adalah pangkal kebajikan interpersonal–tumbuh ketika ada rangsang dari luar diri.
    Jujur menopang kokohnya “batang” integritas, menahan “angin” godaan untuk berlaku curang dalam situasi apa pun. Peduli menumbuhkan “ranting dan daun rindang yang meneduhkan” dan “buah ranum yang menyegarkan” bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.
    Dalam usia sebelia itu–kelas 1–Naufal sudah menunjukkan sikap peduli sedemikian tinggi. Kepeduliannya tidak bersyarat. Buktinya, dua temannya sama-sama mendapat uluran tangannya. Andai mendapati 27 teman yang mengalami kesulitan, bisa jadi Naufal pagi itu akan mengulurkan tangannya 27 kali juga.
    Dapat dipastikan, Naufal membawa benih karakter peduli itu dari rumah, keluarga, ayah dan ibunya. Beruntungnya pula, ibu gurunya sudi mengamati dan mengapresiasi perilaku positifnya. “Tumbu oleh tutup,” kata peribahasa Jawa. Benih karakter dari keluarga disemai menjadi bibit kebajikan di sekolah.
    Salut untuk Naufal dan ayah-ibunya, juga keluarga besarnya.
    Salut untuk ibu gurunya, juga SD Islam Hidayatullah 02.

Comments are closed.

Scan the code