Ketua Umum Yayasan Abul Yatama Semarang hadir di SD Islam Hidayatullah 02. Ustaz Umar tidak sendirian. Semua pengurus Yayasan juga turut hadir. Kecuali, satu orang yang minta izin tidak hadir. Itu pun karena ada keperluan yang sangat bisa dimaklumi. Memang hari itu, Jumat, 1 Oktober 2021, semua pengurus Yayasan diundang. 

Selain pengurus Yayasan, sejumlah pengabdi LPI Hidayatullah juga turut diundang. Total yang diundang: 48 orang. Alhamdulillah, 44 di antaranya berkesempatan hadir.  

Acara itu menandai dimulainya penggunaan gedung SD Islam Hidayatullah 02. Ini acara seremoninya. Kenyataannya, gedung tersebut telah digunakan sejak sebelumnya. Nama acaranya: Doa Bersama. 

Doa dipimpin oleh Ustaz Amin. Sebelum doa, Ustaz Umar menyampaikan sambutan. Ada beberapa pesan yang beliau sampaikan. Salah satunya, pengabdi di SD Islam Hidayatullah 02 harus profesional. Beliau sangat menekankan pesan ini.

Kepribadian yang semestinya dimiliki pengabdi LPI Hidayatullah antara lain: takwa, optimistik, handarbeni, amanah, dan profesional. Ini sebagaimana yang tertera dalam aturan. Penekanan Ustaz Umar pada salah satu dari lima aspek dapat dimaknai bahwa yang satu ini sering kali terabaikan dibanding empat lainnya. 

Dalam KBBI, arti profesional ada empat: bersangkutan dengan profesi, memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir), dan orang yang terlibat atau memenuhi kualifikasi dalam suatu profesi.

Saya jadi teringat dengan guru sebagai profesi. 

Profesi guru diatur dalam regulasi Pemerintah. Salah satunya, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005. Disebutkan dalam undang-undang tersebut bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Memang pernyataan ini sudah memberikan kesan yang sangat kuat bagi saya. Seharusnya guru fokus untuk kebutuhan murid. Bukan pimpinannya, sekolahnya, wali muridnya, atau mitra lainnya. 

Murid dipersiapkan sedemikian rupa. Untuk masa depan mereka. Berpikirnya tentu bukan—atau setidaknya, bukan hanya—untuk kepentingan saat ini. Tentu membutuhkan ilmu yang tidak hanya sekadar diketahui, tetapi juga diimplementasikan.

Terkadang suatu kegiatan malah dimanfaatkan hanya untuk mendongkrak popularitas guru/sekolah. Contohnya, UN—sebelum dibatalkan tahun 2020. Salah satu kegunaan hasil UN adalah untuk pemetaan sekolah. Banyak sekolah yang berusaha memperoleh hasil UN tinggi, bahkan dengan menempuh cara yang tidak semestinya. Pada hari pelaksanaan UN, setiap murid diminta berangkat lebih awal. Dikumpulkan dalam satu ruangan khusus. Lalu setiap murid diminta mencatat jawaban yang telah disiapkan petugas—tentu  petugas ini pun ketika menyiapkan jawaban juga menggunakan cara yang tidak semestinya. Saat ujian berlangsung, murid hanya tinggal menyalin jawaban. Memang cara ini dapat menaikkan hasil UN di sekolah tersebut. Namun, cara ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip penilaian: objektif, bermakna, akuntabel. Mungkinkah guru belum tahu tentang prinsip-prinsip penilaian? Sebagian guru bisa jadi memang belum tahu. Tapi tahu saja tentu belum cukup. Bukankah banyak guru yang sudah tahu tapi belum mampu mengimplementasikannya?

Contoh lainnya, kegiatan perlombaan. Seharusnya kegiatan ini didedikasikan untuk mengoptimalkan potensi murid. Kenyataannya, sering kali guru lebih mendahulukan kepentingannya: hasil perlombaan menentukan harga diri guru/sekolah. Akibatnya, saat persiapan lomba, guru mengeksploitasi murid secara berlebihan. Tidak mempertimbangkan faktor kelelahan murid. Mengabaikan keseimbangan diri murid: antara bidang lomba dan bidang nonlomba. Dengan begitu, guru berharap murid dapat menjuarai lomba. Tentu ketika betul-betul menjuarai lomba, murid akan senang dengan hasil tersebut. Namun, bukankah persiapan yang mengeksploitasi murid secara berlebihan berisiko membuat trauma di kesempatan berikutnya? Belum lagi, bila tidak berhasil menjuarai lomba, risiko yang ditanggung murid semakin tinggi.

Rasanya sangat berat untuk menjalankan pesan Ustaz Umar. Namun, ini adalah tantangan. Dan tidak mungkin hamba Allah akan diberi beban kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dapatkah kami menjalankan pesan beliau? Selama terus bertawakal kepada Allah, kami yakin akan selalu diberi yang terbaik dalam setiap tantangan. Wallahua`lam.

Bagikan:
Scan the code