Implementasi di Kelas
(lanjutan dari bagian ke-1)

Sekolah, sebagai salah satu lingkungan intim anak-anak, memiliki peran strategis dalam membangun growth mindset. Sepanjang hidupnya, orang bisa menghabiskan sembilan hingga belasan tahun di sekolah. Rentang waktu itu dimulai sejak masa kanak-kanak hingga dewasa awal. Artinya, mindset seseorang yang terbentuk di sekolah berpeluang mendarah daging hingga ia dewasa.

Sekolah identik dengan tugas. Melalui tugas-tugas sekolah itulah murid belajar, apa pun identitas yang disematkan untuk menandai kategorisasi muatan belajarnya: jurusan, kelas, mata pelajaran, tema, materi pokok, kompetensi dasar, capaian pembelajaran, atau yang lain. Dengan mengerjakan tugas itulah murid mengaktualisasikan diri: mengubah potensi kecerdasan (modal) menjadi unjuk kerja.

Murid mengerjakan tugas untuk dinilai. Di sinilah titik kritisnya. Paradigma penilaian yang dianut guru punya andil besar dalam pembentukan mindset murid. Jika kedudukannya formatif, penilaian akan menyuburkan benih-benih pola pikir bertumbuh (growth mindset). Sebaliknya, bila kedudukannya sumatif, penilaian cenderung menjebloskan murid ke dalam perangkap pola pikir jumud (fixed mindset).

Penilaian formatif digunakan untuk membentuk (to form) kecakapan murid. Informasi yang terkumpul menjadi rambu-rambu untuk memandu arah pembelajaran yang memungkinkan murid memperoleh pengalaman-pengalaman baru sehingga dapat mengembangkan kecakapannya. Dengan demikian, penilaian formatif berfungsi sebagai penilaian untuk pembelajaran (assessment for learning) atau penilaian sebagai pembelajaran (assessment as learning).

Sementara, penilaian sumatif dipakai untuk mengumpulkan (to sum) bukti-bukti kecakapan murid. Informasi yang terkumpul mengikhtisarkan profil kecakapan murid untuk dasar pengambilan putusan menyangkut status murid selanjutnya. Jadi, penilaian sumatif berfungsi sebagai penilaian atas hasil pembelajaran (assessment of learning). Kedudukan penilaian sumatif laksana garis finis dalam lintasan balapan: menentukan catatan waktu (skor) dan peringkat tiap-tiap peserta.

Untuk membangun growth mindset pada murid, tugas-tugas kelas harus diperlakukan sebagai penilaian formatif. Dalam penilaian formatif, umpan balik (feedback) menjadi elemen kunci. Pada dasarnya, umpan balik merupakan wujud penilaian atau apresiasi, bisa bermuatan kritik atau pujian. Namun, berbeda dari nilai (grade, score), umpan balik tidak berbau vonis.

Umpan balik tetaplah umpan, berfungsi memancing tindak lanjut. Ia dihidangkan untuk dicerna sehingga murid bisa merefleksi proses kerjanya: adakah yang perlu ditambahkan, dikurangi, diganti, atau sudah pas. Memancing juga berbeda dari menyuapi atau meloloh. Umpan balik hanya dihidangkan, tidak dijejalkan. Keputusan untuk mencaplok, membiarkan, atau mencampakkan umpan balik menjadi kewenangan murid yang bersangkutan. Di sinilah terbuka peluang berkembangnya kecakapan lain: negosiasi.

Dapat disimpulkan, ada dua syarat yang mesti dipenuhi agar apresiasi—kritik maupun pujian—berfungsi sebagai umpan balik: (1) berorientasi pada proses dan (2) tidak mendikte.

Salah satu prinsip belajar tuntas adalah umpan balik yang sering dan segera—lebih tegasnya: sesering dan sesegera mungkin. Dengan terbiasa menerima umpan balik atas pengerjaan tugasnya, murid akan membangun sejumlah persepsi positif.

  1. Selalu ada kesempatan untuk meningkatkan hasil kerja dengan memperbaiki proses pengerjaannya.
  2. Perbaikan proses dan peningkatan hasil kerja menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.
  3. Orang-orang di lingkungannya adalah mitra pendukung—bukan lawan penghalang—perjalanannya meraih tujuan.
  4. Harga diri terletak pada kegigihan dalam menjalani proses, bukan pada kegagahan hasil yang didapat.

Serangkaian strategi berikut dapat diterapkan dalam rangka mengakrabkan murid dengan umpan balik.

  1. Mula-mula guru memberikan model umpan balik yang konstruktif. Guru tidak tergesa-gesa memberikan nilai (grade, score) terhadap pekerjaan murid. Untuk tugas yang menuntut jawaban eksak, umpan balik atas kesalahan bisa cukup dengan markah; umpan balik terhadap pekerjaan yang benar bisa dengan verifikasi/validasi.
  2. Setelah terbiasa dan mulai nyaman terpapar umpan balik dari guru, murid-murid dilatih saling memberikan umpan balik secara berpasangan. Guru memantau dan berperan sebagai mediator jika muncul gejala destruktif.
  3. Jika umpan balik berpasangan sudah menampakkan hasil menggembirakan, murid-murid diberi kesempatan untuk saling memberikan umpan balik dalam skala yang makin besar: berkelompok 3—5, 6—10, dan seterusnya hingga klasikal. Perlu diperhatikan bahwa pemberi umpan balik (subjek) adalah individu, sekalipun objeknya hasil pekerjaan kelompok. Tujuannya adalah menghindari rivalitas antarkelompok, di samping agar semua murid terlatih dan terampil memberikan umpan balik yang konstruktif.
  4. Kalimat-kalimat afirmatif bisa dipajang di seantero kelas untuk menguatkan iklim saling memberi dan menerima umpan balik secara konstruktif dan lapang dada.

Racun Pujian

Sering terdengar nasihat bahwa guru tidak boleh pelit pujian. Petuah ini sungguh betul, tetapi bukan tanpa catatan. Alih-alih menjadi nutrisi yang menyehatkan, pujian yang salah alamat bisa menjadi racun yang melumpuhkan penerimanya. Kita cermati ilustrasi imajiner berikut.

Ilustrasi 1

Guru X: “Kamu memang pintar, layak menjadi bintang kelas!”
Setan: “Tuh, benar, kan? Bu Guru juga mengakui, kamu murid paling pintar di kelasmu. Bagaimana kamu tidak bangga?”
Murid eX: “Horeee …!”
Malaikat: “Bersyukurlah! Kepintaranmu itu semata-mata anugerah Tuhan yang ditakdirkan untukmu, sama sekali bukan hasil usahamu!”
Murid eX: “Husss! Cerewet! Iri, ya?”

Ilustrasi 2

Guru Y: “Pekerjaanmu bagus, sempurna! Kamu berhak menjadi juara!”
Setan: “Dengar baik-baik, tuh! Siapa yang bisa mengalahkan kamu?”
Murid Ye: “Yesss! Siapa dulu? Aku, gitu, loh!”
Malaikat: “Seluruh organ tubuhmu yang kaupakai untuk bekerja itu 100% milik Tuhan. Dia yang menciptakan, Dia yang menetapkan kadar kemampuannya, Dia yang memprogram sistem operasinya. Kuasamu hanya meminjam untuk berusaha. Kembalikan pujian itu kepada Sang Pemilik jiwa ragamu.”
Murid Ye: “Huuuh, … dasar bawel!”

Ilustrasi 3

Guru Z: “Wow, … ini pasti kamu kerjakan dengan cermat dan tekun. Bisa kaujelaskan bagaimana kamu mengerjakannya?”
Setan: “Nah, gurumu mulai curiga, kan? Nggak percaya dengan kehebatanmu!”
Murid Zet: “Oh, masa begitu?”
Malaikat: “Ini kesempatan untuk membuktikan kesungguhan perjuanganmu.”
Murid Zet: “Baiklah, saya harus buktikan.”

Setelah Murid Zet menjelaskan cara kerjanya, Guru Z memberikan umpan balik lebih lanjut.
Guru Z: “Kamu bekerja luar biasa tekun dan cermat. Puas sampai di sini atau mau mencoba tantangan baru?”
Murid Zet: “Apa tantangannya?”
Guru Z: “Kamu boleh pilih: mengerjakan tugas lain atau membimbing temanmu yang belum berhasil menyelesaikan tugas.”
Setan: “Tolak! Tugasmu sudah beres. Sekarang waktunya santai. Nikmati saja kekaguman teman-temanmu atas kesempurnaan pekerjaanmu!”
Malaikat: “Dua-duanya baik. Dengan mengerjakan tugas baru, kamu punya kesempatan untuk mengasah kemampuan, keterampilanmu semakin meningkat menjadi kemahiran. Dengan membimbing teman, kamu berpeluang memperoleh pahala sambil memperkokoh kemampuanmu.”

Begitulah, pujian bisa menyuburkan motivasi yang membangun growth mindset bila tepat sasaran; sebaliknya, bisa pula meracuni mental dan menjerumuskan ke fixed mindset bila salah alamat. Umpan balik yang sesering dan sesegera mungkin menjadi elemen kunci yang menopang pembentukan growth mindset dan kelak menjelma grit yang mengabadi. Sekolah merupakan lingkungan intim pertumbuhan konsep diri manusia yang memiliki peluang strategis untuk membangun growth mindset secara masif, baik kualitatif maupun kuantitatif.

 

Tabik.

Bagikan:

By Teguh Gw

Pekerja serabutan yang ingin bisa terus belajar dan belajar terus bisa

260 thoughts on “Membangun Growth Mindset (bagian #2)”

Comments are closed.

Scan the code