Beri Mereka Waktu
“Asalamualaikum, Ibu guru, Bunda-bunda, dan teman-teman SD Islam Hidayatullah 02 semua. Terima kasih banyak sudah menengok Iqbal pagi ini. Semoga Allah membalas semua kebaikan dengan pahala yang berlipat ganda dan kita semua selalu diberi kesehatan dan keselamatan. Amin 🤲🥰🙏.”
Sebuah pesan dari Bunda Iqbal masuk di grup WhatsApp kelas setibanya kami di Sekolah. Alhamdulillah, tadi pagi beberapa guru dan semua murid berkesempatan berkunjung ke rumah Iqbal.
Saya merasa bersalah karena belum menyampaikan permohonan izin kepada orang tua murid atas kunjungan ini. Saya mengajak murid-murid ke rumah Iqbal tanpa sepengetahuan orang tua mereka.
Beberapa pesan mengekor, membalas pesan pertama. Saya pun mengucapkan terima kasih atas sambutan keluarga Iqbal kepada kami.
“Ayah/Bunda, alhamdulillah, tadi Ananda semua bersilaturahmi ke rumah Mas Iqbal menggunakan mobil Sekolah. 🙏🏻 Semoga pengalaman ini semakin menguatkan akhlak yang baik terhadap sesama muslim. 🤲🏻😇,” balas saya sekaligus menyampaikan pemberitahuan.
Bunda Iqbal lantas mengirimkan sebuah video berisi suasana saat berdoa bersama di rumah beliau. Tak berselang lama, banyak pesan masuk dari orang tua murid turut mendoakan kesembuhan Iqbal.
***
Sore harinya, saya meneruskan video dari Bunda Iqbal di status WhatsApp. Beberapa orang turut bersimpati dan memberikan doa. Ada pula yang menanyakan itu kegiatan apa. Saya jawab apa adanya, bahwa kami menjenguk murid kami yang sakit akibat jatuh dari perosotan.
Sempat terlintas pikiran untuk mengusulkan kepada Pimpinan: perosotan itu dicopot saja. Itu solusi cespleng untuk menghindari kejadian serupa terulang. Belum sempat beranjak melangkahkan kaki untuk menghadap Pimpinan, muncul pertanyaan menggugat di benak saya: apa yang salah dengan perosotan? Konstruksinya kokoh. Penempatannya aman. Secara teknis, arena bermain itu tidak membahayakan. Apakah ketika ada pengendara mengalami musibah di jalan raya, lantas jalannya ditutup? Apakah karena ada atlet mengalami cedera ketika bermain sepak bola, serta merta stadionnya disegel? Tidak! Jalan raya atau stadion itu hanya tempat kejadian “perkara”, bukan biang musibah.
Musibah yang menimpa Iqbal di arena perosotan adalah murni akibat kelalaian manusia. Siapa yang lalai? Iqbal? Teman-teman Iqbal? Sama sekali bukan! Mereka justru korban kelalaian gurunya. Saya sudah melepas mereka ke arena bermain sebelum membekali mereka ilmu—lebih tepatnya: adab—bermain bersama. Saya lupa mereka masih kanak-kanak, dorongan kinestesisnya sering lebih besar daripada tarikan kendali keselamatan. Benar sabda Rasulullah, “Manusia adalah tempat kesalahan dan kealpaan.” Alih-alih menjadikannya apologi, saya justru memaknai pesan Nabi itu sebagai peringatan: jika salah segera bertobat, jika alpa segera sadar!
Saya sudah menyadari kelalaian saya. Kini saatnya saya bertobat: membekali anak-anak dengan adab safety playing sebelum melepas mereka ke arena bermain. Saya ajak anak-anak untuk berbincang, bagaimana bermain dengan riang sambil tetap menjaga keselamatan diri masing-masing dan saling menjaga keselamatan teman. Kami—saya bersama seluruh warga dewasa di Sekolah—harus membangun dan menguatkan karakter “bermain ceria dan aman” pada anak-anak. Educate first, itu kuncinya. Kami siap belajar dari guru-guru hebat di Finlandia.
Kami juga harus sejak awal menyadari, proses ini butuh waktu. Anak-anak perlu waktu untuk menjalani proses dari mengetahui sampai menginternalisasi karakter itu. Sambil memberi mereka waktu, kami siap mendampingi anak-anak berproses secara natural dan gradual.
Sepekan sudah murid-murid memasuki lingkungan sekolah baru dengan menyandang status baru: “Kakak SD”. Rasanya banyak hal yang ingin saya sampaikan kepada mereka. Namun, semua hal itu tak serta merta saya jejalkan dalam satu waktu.
Penguatan akhlak kepada teman harus selalu diulang-ulang. Semua orang yang ada di kelas adalah keluarga. Satu orang sakit, yang lain ikut merasakan.
“Anak-anak, kita semua di sini adalah keluarga. Kita harus saling menjaga dan mengingatkan. Di sana sudah tertulis kesepakatan kita nomor 3, apa, ya?” saya bertanya kepada murid-murid.
“Saling mengingatkan!” jawab mereka kompak.
“Semoga Allah selalu memudahkan kita untuk bisa menjaga diri dan teman-teman, serta kita bisa saling mengingatkan. Amin.”
Baca juga: Kenalkan, Tunjukkan, Percayakan
***
Beberapa hari berikutnya, saya dikabari Bu Nia: petugas di Day Care Hidayatullah via WhatsApp.
“Bu, Hasna tidak mau diantar ke Sekolah. Maunya di Day Care saja.”
Saya merespons informasi itu dengan ucapan terima kasih.
Saya berpikir keras. Berupaya mengingat kembali apa yang terjadi pada Hasna kemarin. Tidak ada apa-apa. Hasna baik-baik saja kemarin.
Berita itu mengagetkan. Gugup, saya tergoda untuk memberikan layanan khusus: home visit. Secepatnya. Jika terlambat ditangani, Hasna bisa mengalami trauma berkepanjangan. Ah, lagi-lagi saya terpancing untuk mengambil kesimpulan prematur. Tindakan cepat memang penting, tetapi jika tidak tepat justru berpotensi memicu situasi genting. Saya jadi ragu, bagaimana jika perlakuan khusus yang terlalu dini justru membuat Hasna menjadi manja? Bukankah pemanjaan akan berakibat lebih fatal: melemahkan jiwa?
Hari masih pagi. Hasna masih punya siang, sore, dan malam yang panjang untuk “memainkan” emosinya. Saya harus menahan diri untuk menunda intervensi. Anekdot tentang kepompong yang gagal tumbuh menjadi kupu-kupu cantik yang lincah terbang akibat intervensi gegabah oleh seseorang yang iba menyaksikan perjuangannya kiranya cukup memberi saya pelajaran. Esok pagi adalah waktu yang tepat untuk melihat perkembangan Hasna: “bermetamorfosis” menjadi “kupu-kupu” yang cantik dan lincah atau betah mengurung diri seperti kepompong.
Hari berikutnya, Hasna masuk. Saya lega. Ia juga menikmati kelas hari itu dengan biasa saja. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Saat jam istirahat, saya ajak ia dan beberapa temannya ngobrol.
“Kucingku dulu mati gara-gara dimakan biawak,” cerita Hasna tanpa diminta.
“Biawak itu apa?” timpal Sabrina.
Obrolan itu berlanjut seru dan hangat. Hasna tak canggung bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan. Tak ada masalah dengan sosialisasinya di kelas.
Kedua peristiwa ini membawa saya pada satu kesimpulan: anak-anak butuh proses. Ya, proses yang kadang tak dipahami, kecuali oleh mereka yang menghadapi langsung. Overthinking, ego, dan ketidaksabaran juga akan semakin memperkeruh kondisi yang sebenarnya hanya butuh satu hal: waktu. Beri mereka waktu. (A2)
where can i buy rumalaya – order rumalaya pills buy amitriptyline pills for sale
Профессиональный сервисный центр по ремонту бытовой техники с выездом на дом.
Мы предлагаем: сервис центры бытовой техники москва
Наши мастера оперативно устранят неисправности вашего устройства в сервисе или с выездом на дом!
diclofenac oral – purchase cambia generic order aspirin 75 mg generic
order colospa 135 mg online cheap – generic etoricoxib 60mg buy cilostazol 100mg sale
celecoxib usa – where to buy flavoxate without a prescription order indomethacin 50mg for sale
buy probenecid pills – monograph 600mg usa buy carbamazepine for sale
cost neurontin 100mg – sulfasalazine usa buy azulfidine
order besifloxacin sale – buy generic sildamax purchase sildamax online
buy lasuna without prescription – diarex order online himcolin sale
Iqbal, Hasna, dan teman-teman sungguh beruntung. Mereka mendapatkan guru cum pedagog. Riak-riak kecil yang meningkahi proses sosialisasi di antara anak-anak dipandang dengan kacamata pedagogi.
Andaikan perosotan itu jadi dicopot, mungkin tidak akan pernah ada lagi anak yang mengalami cedera akibat bermain perosotan. Namun, di sisi lain dapat dipastikan, Iqbal dan kawan-kawan akan kehilangan salah satu tempat favorit untuk menyalurkan energi mereka yang berlimpah. Sekolah adalah taman, mengikuti paradigma pendidikan humanistik ala Ki Hadjar Dewantara. Anak-anak butuh mengembangkan keterampilan olah pikir (kognitif), olah rasa (afektif-sosial), olah jiwa (afektif-spiritual), dan olahraga (motorik-kinestesis).
Seandainya Hasna secepatnya mendapatkan intervensi gegara ngambek satu kali itu, barangkali emosinya akan segera luluh oleh rayuan gurunya. Apalagi kalau rayuan itu disertai hadiah yang menggiurkan hatinya. Namun, hampir pasti dia kehilangan kesempatan untuk belajar self-negotiation. Akibatnya, setiap kali marah dia akan bergantung pada intervensi orang lain, tidak cakap menetralisasi emosinya sendiri.
Tanpa kepekaan pedagogis yang tajam, guru cenderung tergelincir pada tindakan “welas tanpa alis”: dorongan rasa iba membuatnya tergesa-gesa memberikan pertolongan instan, yang kelak justru mencelakai si penerima pertolongan.
Selamat kepada Iqbal, Hasna, dan kawan-kawan! Kalian menemu sekolah dan guru-guru yang luar biasa–bukan sekolah luar biasa (SLB). Ya, sekolah cum taman. Bārakallāh fīkum.